Sudah sebulan lamanya trip saya bareng istri sekeluarga ke Banyuwangi. Banyak destinasi wisata yang sudah kami explore disana. Ternyata Banyuwangi keren ya, gak kalah dengan Pulau Bali dan Lombok bila berbicara tentang keindahan alamnya. Dari pantai, air terjun, taman nasional, gunung dan budaya, Banyuwangi punya semuanya. Kalau ditulis dalam satu cerita di blog, gak akan ada habisnya. Jadi, mengawali trip saya di Banyuwangi, saya memulai menulis tentang salah satu destinasi wisata yang bisa dibilang lagi naik daun di Banyuwangi. Sebut saja namanya De Djawatan Benculuk.
Jujur, senang banget rasanya saat menulis cerita ini. Sudah lama saya menunggu menulis tentang wisata Banyuwangi. Bisa dibilang ini tulisan pertama saya tentang destinasi wisata di Banyuwangi setelah beberapa waktu yang lalu, saya sudah menulis tentang naik kereta dari Banyuwangi ke Jember.
Tanpa panjang lebar lagi, saya akan memulai ceritanya. Oh ya, mungkin ada yang bertanya, "kapan cerita perjalanan touringnya dari Lombok ke Banyuwangi ditulis?". Tenang saja, pasti akan saya tulis lengkap di postingan khusus edisi touring ke Banyuwangi, tanah Blambangan. Gak lengkap rasanya kalau gak menulisnya. Berbagi pengalaman itu indah, Asyiiik.
***
Baru sehari saya sampai di Banyuwangi, istri dan adek-adek ngajak ngabuburit ke De Djawatan Benculuk. Saya sontak berteriak, "Ayoook !!!". "Semangat banget pak?", istri menyindir. Berhubung ke Banyuwangi kemarin dalam suasana bulan puasa, jadi waktu sangat terbatas untuk jalan-jalan. Enaknya sih keluar jalannya sore hari sambil menunggu waktu berbuka.
Yang ikut saat itu si doi (istri), adek-adek dan bapak mertua. Saya bareng si doi pakai motor nmax, sedangkan yang lainnya pakai mobil. Seingat saya hari itu Hari Jumat. Setelah habis shalat Jumat kami bersiap-siap berangkat. Gak banyak perlengkapan yang dibawa. Hanya kamera dan assesoris foto pastinya. Jarak dari tempat kami tinggal di Rogojampi sampai tujuan sekitar setengah jam saja. Jalurnya pun gak ribet. Tinggal ngikutin jalur Banyuwangi ke Jember, sesampainya di Srono gak jauh dari pinggir jalan raya, di kanan jalan ada jalan masuk berupa gapura gitu ke De Djawatan. Lebih jelasnya, bisa lihat di google maps di akhir tulisan.
Setelah sampai di pintu gerbang, kami harus membeli tiket masuk seharga 5 ribu rupiah per orang. Meskipun bawa kendaraan, tetap yang dihitung per kepala. Kalau motor dikenakan 2 ribu saja,sedangkan mobil 5 ribu (koreksi bila salah).
Waktu menunjukkan jam dua siang. Suasana di De Djawatan sangat tenang dan asri. Suara angin di sela-sela pohon seolah-olah mengucapkan selamat datang di De Djawatan kepada kami. Pengunjung juga gak begitu banyak, hanya beberapa rombongan saja. Ada yang datang bersama keluarga, teman dan ada yang datang sendiri (jomblo). Gak keliatan yang datang bersama gebetan karena lagi puasa kali.
"Akhirnya saya sampai juga di De Djawatan !" (teriakan di dalam hati)
Sejak ngehits dengan foto-foto ratusan pohon Trembesinya di instagram, saya langsung ngomong ke si doi kalau ke Banyuwangi nanti wajib datang kesini. Dan ternyata Allah mengabulkan keinginan saya, terimakasi. Gak urus orang bilang udik sekali, baru saja kesini sudah kesenangan banget. Yang bilang gitu pasti syirik dan pengen juga datang ke De Djawatan Benculuk,hahaha.
De Djawatan terkenal dengan penampakan Pohon Trembesinya yang jumlahnya sekitar ratusan. Kerennya pohon-pohon Trembesi yang diperkirakan berumur ratusan tahun ini terpelihara dengan baik sampai saat ini. Hutan ini dari informasi yang saya baca, dikelola oleh Perum Perhutani KPH Banyuwangi yang berlokasi di Desa Benculuk, Kecamatan Cluring, Kab.Banyuwangi, Jawa Timur dimana lokasi De Djawatan berada. Makanya dinamakan juga De Djawatan Benculuk.
Pada era sebelum sembilan puluhan, hutan ini digunakan sebagai Tempat Penimbunan Kayu (TPK) hasil hutan. Disaat tahun dua ribuan, TPK Benculuk berkurang hasil kayunya yang ditaruh disini karena di wilayah selatan sudah dibuka dua TPK yaitu TPK Gaul di Desa Grajagan, Kecamatan Purwoharjo dan TPK Ringintelu, Desa Ringintelu, Kecamatan Bangorejo.
Sebelum bernama De Djawatan, TPK Benculuk ini bernama Tapel Pelas yang artinya tempat penimbunan kayu. Sejak ngehits di media sosial dan banyak orang memposting foto-foto mereka, jadi Tapel Pelas perlahan-lahan berubah sebutan menjadi De Djawatan.
Di sekitar De Djawatan dulunya juga terdapat bendungan yang digunakan untuk pembangkit listrik di daerah sekitar. Bahkan merupakan bendungan satu-satunya yang berada di kawasan Banyuwangi bagian selatan. Di sini juga terdapat sisa-sisa rel kereta api yang bisa kita temukan. Ini menandakan dulunya di Benculuk pernah menjadi pusat ekonomi.
Ada sumber lain juga yang menceritakan bahwa sekitar tahun 1970an, ada peristiwa penjarahan kayu besar-besaran sehingga stok kayu di De Djawatan berkurang. Sejak itu surutkah kejayaan De Djawatan dan lokasi tersebut gak difungsikan lagi.
Sekarang De Djawatan sudah bangkit lagi dengan para generasi muda jaman sekarang yang gak henti-hentinya memamerkan foto mereka di media sosial. Spot-spot foto banyak sekali yang kita temukan. Dari sisa gerbong kereta barang yang masih ada di sekitaran hutan. Jembatan kayu dengan sungai kecil yang mempercantik spot ini. Ada juga rumah pohon yang terbuat dari kayu. Dari atas rumah pohon, kita bisa melihat De Djawatan secara menyeluruh.
Luas dari De Djawatan sendiri sekitar empat hektare. Luas juga ternyata untuk dikelilingi dari ujung ke ujung. Cara kita menikmati hutan ini bisa dengan berjalan kaki sambil mencari spot foto. Dijamin kita gak akan merasa capek karena ratusan Pohon Trembesi melindungi kita dari teriknya sinar matahari. Mau datang pagi, siang ataupun sore, suasana di dalam De Djawatan selalu nyaman dengan udaranya yang sejuk.
Di saat berada di tengah-tengah pohon Trembesi raksasa berumur ratusan tahun ini, saya merasa berada di dunia lain. Bukan dunia lain seperti dunia gaib yang penuh dengan makhluk halusnya gitu juga kali. Maksud saya, dunia lain disini mirip seperti film-film fantasi, contohnya di dalam film Twilight, The Lord Of The Rings, dan Tarzan. Pohon Trembesi yang memberi kesan seperti itu.
Saya sempat terhipnotis dan berkhayal berada di zamannya Tarzan. Bukan bertemu dengan Tarzannya tapi bertemu dengan Jane,hahaha (peace yank). Meskipun gak bertemu dengan Janenya Tarzan, tapi datang kesini bersama istri saja sudah senang banget. Jane punyanya Tarzan, Kiki (istri) punyanya Didit (niruin logatnya Tarzan) #BayanginSendiriSaja.
Bagi kalian yang ingin mengexplore De Djawatan semuanya, biar gak capek kalian bisa menyewa andong atau dokar seharga 10 ribu. Disini sudah ada beberapa Andong atau Dokar yang siap mengantar kita mengelilingi De Djawatan. Harganya cukup murah juga kan.
Dari pengalaman kami kemarin sih, kami diijinkan membawa masuk kendaraan ke dalam lokasi, bukan di parkiran kendaraan. Entah diijinkan atau gak, pastinya kami bisa berfoto dengan mobil mertua. Pastinya lagi, saya yang jadi tukang jepretnya pemirsa (nasib jadi tukang foto) hahahaha.
Hari sudah semakin sore. Gak terasa dua jam di De Djawatan. Berhubung kita harus buru-buru balik ke Rogojampi untuk buka puasa di rumah mbah. Sayang sekali, belum bisa mengexplore De Djawatan semuanya. Katanya, ada beberapa bangunan yang unik disini. Next time, kalau ke Banyuwangi, bisa mampir kesini lagi.
Ada yang bilang, "Kalau ke Banyuwangi tapi belum ke Kawah Ijen, Baluran dan De Djawatan. Belum ke Banyuwangi namanya".
Maaf kalau foto-foto saya di atas gak sekeren foto lain di instagram, hehehe
Maaf kalau foto-foto saya di atas gak sekeren foto lain di instagram, hehehe
Penulis : Lazwardy Perdana Putra
Klo ke Banyuwangi lagi, kudu Explore sisi lain dari de djawatan lgi yank 😎
ReplyDeleteHarus donk... Hahaha
Deletebentuk pohonnya itu lho, instagramable bangeeeeet
ReplyDeleteunik
Satu2nya yg ada d Indonesia
Delete